Pasal 27 Ayat 1 Uu Ite Pencemaran Nama Baik

Pasal 27 Ayat 1 Uu Ite Pencemaran Nama Baik

Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE banyak mengkriminalisasi ekspresi-ekspresi yang sah dan menjadi masalah pokok dari UU ITE. Permasalahan perumusan seperti delik pokok mengenai penghinaan yang diatur dengan berbagai jenis perbuatan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diambil dan diimplementasikan secara berantakan. Sehingga dalam beberapa kasus, kasus pidana penghinaan ringan yang seharusnya diancam dengan pidana yang relatif lebih rendah disamaratakan dengan tindak pidana yang ancaman pidananya lebih tinggi. Selain itu, tidak jelasnya unsur mentransmisikan (menyebarkan ke satu orang lain) gagal menafsirkan unsur “di muka umum” yang merupakan unsur utama dari ketentuan pencemaran nama baik di delik pokoknya di KUHP. Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE menduduki Pasal yang paling banyak digunakan menurut hasil riset ICJR tahun 2021.

Kertas Kebijakan ini berisi masukkan atas usulan rumusan Matriks Draft RUU ITE yang ada. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam proses revisi kedua UU ITE dan memperbaikinya demi sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum pidana.

Catatan utama dari Pasal mengenai kesusilaan di dalam UU ITE adalah banyaknya korban kekerasan seksual di ruang siber yang justru diancam dipidana. Hal ini dimungkinkan karena perumus UU ITE gagal memperhatikan pengecualian-pengecualian yang bisa terjadi bagi korban kekerasan seksual, yang dilihat dari UU ITE hanyalah cara muatan ini berpindah tangan dan dilakukan di dalam ranah siber. Tidak ada definisi dari “Kesusilaan” dan jika merujuk ke dalam KUHP, perbuatan “melanggar kesusilaan” diatur di dalam berbagai Pasal yang tersebar di dalam buku 2 KUHP tentang kejahatan dan buku 3 KUHP tentang pelanggaran.

Kesusilaan di dalam KUHP juga bergantung erat terhadap nilai kesusilaan di tempat terjadinya perbuatan, suatu hal yang bertentangan dengan konsep internet yang lintas batas (cross-border). Pasal ini juga merupakan duplikasi dengan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang mana di dalam UU tersebut hanya menjerat perbuatan jika muatan asusila disebarkan di muka umum atau digunakan untuk tujuan komersil, dengan demikian frasa “mentransmisikan” yang termasuk korespondensi pribadi seharusnya tidak dapat dipidana disini, terlebih jika tujuannya sebagai bukti kekerasan.

Kertas Kebijakan ini berisi masukkan atas usulan rumusan Matriks Draft RUU ITE yang ada. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam proses revisi kedua UU ITE dan memperbaikinya demi sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum pidana.

Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej (tengah) saat menghadiri rapat di DPR, Senayan.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menghapus pasal pencemaran nama baik di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia mengatakan pasal penghinaan dalam UU ITE dihapus agar tidak menyebabkan disparitas.

"RKUHP ini menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang ada di dalam UU ITE," kata Wamenkumham usai menghadiri Rapat RKUHP dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (28/11/2022).

Ia melanjutkan, penghapusan dua pasal itu akan menekan potensi penafsiran berbeda di kalangan penegak hukum. Selain itu, ia menilai penghapusan pasal itu menjadi kabar baik bagi iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi.

"Keputusan ini dibuat setelah mendengar masukan masyarakat, karena aparat penegak hukum sering kali menggunakan UU ITE untuk melakukan penangkapan dan penahanan," jelas Wamenkumham.

Kendati masih mencantumkan ancaman pidana terkait penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga kepresidenan, RKUHP telah memberi batas jelas antara penghinaan dan kritik. Ia juga menambahkan agar tidak terjadi disparitas maka ketentuan di dalam UU ITE dimasukkan ke RKUHP dengan penyesuaian-penyesuaian.

"Untuk tidak terjadi disparitas dan gap, maka ketentuan di dalam UU ITE kami masukkan ke RKUHP tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian yang dengan sendirinya mencabut ketentuan pidana khususnya Pasal 27 dan 28 yang ada dalam UU ITE," jelas Wamenkumham.

Sebelumnya, pemerintah dan DPR menyepakati RKUHP dalam pembahasan tingkat I. RKUHP akan dibawa ke sidang paripurna DPR untuk dibahas pada tingkat II dan disahkan. [*]

Oleh: Humas UM Sumbar   |   Kamis,08 Desember 2022 09:02:00

Humas UM Sumatera Barat - SALAH satu yang paling banyak dituntut oleh para aktivis, penggiat HAM, akademisi, adalah penghapusan pasal pencemaran nama baik di UU ITE. Pasal tersebut dinilai berpotensi untuk membungkam demokrasi. Beberapa waktu yang lalu keinginan ini mendapatkan angin segar. Pemerintah berencana untuk mencabut pasal-pasal pencemaran nama baik yang ada dalam UU ITE.

Dilansir dari Tempo.co (28 November 2022), Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa draf RKUHP versi 24 November 2022 turut mencabut Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 UU ITE. Pasal-pasal inilah yang dijadikan dalih untuk pembungkaman. Adapun Pasal 27 ayat (1) berbunyi, “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau dapat membuat  dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, yang memiliki muatan yang melanggarkesusilaan”. Sedangkan Pasal 28 pada ayat (2) berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA)”.

Perlu diketahui bahwa sejak disahkan tahun 2016, telah banyak korban pidana menggunakan pasal pencemaran nama baik UU ITE. Ini karena pasal tersebut tidak dirumuskan dengan baik sehingga menimbulkan multi tafsir. Berikutnya pasal-pasal itu digunakan untuk kepentingan penguasa dan membungkam siapa saja yang menentang kebijakan penguasa. Ini dapat dilihat dari catatan, sepanjang tahun 2020 terdapat korban, dan tahun 2021 terdapat 38 korban jerat UU ITE, dengan rincian.

Sedikit catatan sebetulnya kabar tersebut tidak sepenuhnya baik. Sebab rencananya pemerintah akan menggantikan pasal tersebut di dalam RKUHP. Sedangkan RKUHP yang rencananya akan disahkan dalam waktu dekat juga memuat pasal-pasal kontroversial termasuk penghinaan (dan pencemaran nama baik) lembaga negara, dan ditentang oleh banyak pihak. Ini merupakan kabar yang buruk bagi iklim demokrasi. Artinya pembungkaman masih potensial adanya. Untuk proses legislasi berarti kita harus menunggu kelanjutan dari proses legislasi RKUHP.

Di samping itu bukan tidak mungkin ada alasan lain di balik (perencanaan) penghapusan pasal-pasal tersebut. Hukum merupakan produk politik, dan hukum digunakan untuk kepentingan politik. Apa pun yang seharusnya tidak boleh, demi kepentingan politik, hukum bisa dimainkan untuk melegalkan kebijakan. Hukum dan politik saling berkelindan satu sama lain. Untuk itu, saya kira tidak mungkin melepaskan kepentingan politik dari suatu produk hukum.

Mencurigai Alasan Politis Dibaliknya Iklim politik di era ini secara terang-terangan berjalan secara tidak sehat. Politik tidak lagi dipenuhi dengan perang ide dan gagasan. Politik diwarnai dengan intrik-intrik yang membawa kebencian. Serangan-serangan fisik maupun verbal marak terjadi di mana-mana. Dan negara terkesan melanggengkan keadaan-keadaan yang seperti ini. Kepentingan penguasa adalah kekuasaan itu sendiri. Tidak peduli bagaimana pun catur perpolitikan yang terjadi.

Kecurigaan politis ini bisa muncul akibat sikap ‘pembiaran’ pemerintah terhadap kelompok “pemandu sorak” milik negara. Sekelompok orang, yang dicurigai memang bekerja untuk membangun citra penguasa. Persoalan lebih kritis adalah penyerangan terhadap lawan politik dengan cara-cara yang anti-moral. Misalnya menuduh lawannya dengan narasi-narasi anti-Pancasila, anti-NKRI, radikalisme, kadrun, dan semacamnya. Sebetulnya, sangat kentara politisasi dan agenda kebencian di belakangnya.

Terhadap pihak oposisi, penyerangan secara masif melalui sosial media juga turut dilakukan. Skema-skema ini dilakukan dengan cara menyerang sosok dari seorang figur yang berlawanan dengan pemerintah. Kelompok ini berupaya menjatuhkan citra lawan politik, sampai dengan cara-cara yang tidak wajar sama sekali. Tugas utama mereka cuma dua, menghiasi wajah pemerintah dan menjatuhkan pihak yang kritis terhadap kekuasaan dengan cara apa pun itu.

Pantas untuk curiga jangan-jangan dibalik penghapusan ini adalah untuk membiarkan “pemandu sorak” pemerintah ini untuk lebih leluasa dalam mengintimidasi lawan-lawan politiknya. Beberapa waktu yang lalu Jokowi mengumpulkan partisipannya di stadion Gelora Bung Karno. Beberapa kali, Jokowi juga melahirkan pernyataan-pernyataan yang sangat kontroversial berkaitan dengan siapa yang menjadi penggantinya. Sesuatu yang sangat tidak wajar dilakukan oleh seorang Presiden.

Presiden bukanlah kepemilikan kelompok tertentu. Presiden adalah lembaga negara yang berarti milik semua warga negara. Tetapi Jokowi masih berupaya untuk membangun citra politiknya. Penguatan basis yang sebetulnya tidak perlu, untuk apa? Bahkan sampai membangun kesan bahwa Presiden hendak ingin mengatur percaturan politik ke depannya. Artinya, seorang presiden pun keluar dari koridornya: sebagai sebuah lembaga negara menjadi penjaga kekuasaan.

Maka dari itu, alih-alih akan munculnya harapan untuk demokrasi yang lebih baik, kita juga patut curiga permainan seperti apa yang akan dimainkan dibalik peraturan-peraturan penting tersebut. Terlalu dini untuk mengatakan, bahwa diumumkannya penghapusan pasal pencemaran nama baik dalam RKUHP sebagai suatu kabar baik. Apakah pemerintah benar-benar memiliki itikad baik di ujung kekuasaan?

(Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)

*** Untuk Mendapatkan Informasi Terbaru Ayo Bergabung Bersama Fanpage UM Sumatera Barat

Ikuti Juga Twitter UM Sumatera Barat

Kasus mengenai pencemaran nama baik merupakan salah satu kasus yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Pasal pencemaran nama baik digunakan untuk mengatur hal-hal yang termasuk dalam berbagai perbuatan yang mencemarkan nama baik seseorang.

Dalam hukum positif di Indonesia, masalah mengenai pencemaran nama baik diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, permasalahan ini juga diatur di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Nah, dalam artikel ini, kita akan mempelajari tentang pasal pencemaran nama baik yang diatur oleh hukum positif Indonesia, baik KUHP atau UU ITE. Untuk mendapatkan informasi seutuhnya, mari simak pembahasan di bawah ini sampai selesai!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

Peraturan yang mengatur mengenai masalah pencemaran nama baik adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal pencemaran nama baik melalui media elektronik menjadi hal yang dilarang sesuai dengan UU ITE pasal 27 ayat 2 yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Pasal pencemaran nama baik di media sosial dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 pasal 45 ayat 3 yang mengatur setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.

Pasal Pencemaran Nama Baik dalam KUHP

KUHP memiliki berbagai pasal yang akan mengatur permasalahan mengenai pencemaran nama baik. Dikutip dari jurnal hukum berjudul Pencemaran Nama Baik dalam KUHP dan Menurut UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh Reydi Vridell Awawangi, berikut adalah pasal pencemaran nama baik dalam KUHP.

Pasal ini mengatur mengenai pencemaran secara lisan. Apabila seseorang telah melakukan unsur-unsur pencemaran secara lisan, maka dapat dikenakan oleh pasal ini.

Pasal 310 ayat 1 KUHP berbunyi "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Pasal ini akan mengatur perbuatan pencemaran nama baik yang dilakukan secara tertulis. Seseorang yang mencemarkan nama orang lain secara tertulis dapat dikenakan pasal ini.

Pasal 310 ayat 3 berbunyi "Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Pasal 311 KUHP mengatur tentang perbuatan fitnah yang dilakukan oleh seseorang. Perbuatan fitnah yang dapat mencemarkan nama orang lain dapat dikenakan oleh pasal ini.

Pasal 311 ayat 1 KUHP berbunyi "Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun."

Pasal 315 KUHP mengatur mengenai penghinaan ringan yang dilakukan oleh seseorang. Pengertiannya, jika seseorang mengumpat atau memaki-maki dengan kata-kata keju yang menurut pendapat umum dapat digolongkan sebagai kata penghinaan, maka tergolong memenuhi unsur dari pasal 315.

Pasal 315 KUHP berbunyi "Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Pasal 317 KUHP mengatur mengenai perbuatan memfitnah dengan pengaduan. Yang dimaksud memfitnah dengan pengaduan dalam pasal 317 KUHP dalam pasal 1 yaitu "Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun."

Pasal ini mengatur mengenai pencemaran nama baik terhadap seseorang yang sudah mati. Perbuatan tersebut dapat diancam oleh pasal 320 ayat 1 KUHP.

Pasal 320 ayat 1 berbunyi "Barang siapa terhadap orang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang tersebut masih hidup, akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah."

Chicago citation style:

Rahmawati, Maidina, Author, Indonesia, and Publisher Institute For Criminal Justice Reform. Menelisik pasal bermasalah dalam UU ITE pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan. [Pasar Minggu, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2021] Pdf. https://www.loc.gov/item/2022320929/.

Rahmawati, M., Indonesia & Institute For Criminal Justice Reform, P. (2021) Menelisik pasal bermasalah dalam UU ITE pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan. [Pasar Minggu, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform] [Pdf] Retrieved from the Library of Congress, https://www.loc.gov/item/2022320929/.

Rahmawati, Maidina, Author, Indonesia, and Publisher Institute For Criminal Justice Reform. Menelisik pasal bermasalah dalam UU ITE pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan. [Pasar Minggu, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2021] Pdf. Retrieved from the Library of Congress, .

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Teguh Arifiyadi menyatakan pencantuman pasal pencemaran nama baik pada perubahan kedua Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah sesuai dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).

“Pasal pencemaran nama baik di UU ITE lama telah diuji 3 kali di Mahkamah Konstitusi yang semua putusannya menyatakan bahwa delik pencemaran nama baik itu konsititusional dan tidak melanggar hak asasi manusia,” ujar Teguh, Kamis, 10 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menyebutkan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang ITE tetap tercantum meski perubahan kedua beleid itu sudah disahkan. Sejumlah pasal karet itu adalah pasal pencemaran nama baik, informasi palsu hingga ujaran kebencian.

Meski begitu, ia pun menyebut perlu ada perbaikan redaksional agar tidak disalahgunakan.

“Sehingga yang perlu diperbaiki adalah redaksionalnya agar tidak disalahgunakan atau dimanfaatkan kepentingan tertentu. Redaksionalnya disesuaikan dengan rumusan delik pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP baru dan pasal 310 dan 311 KUHP lama,” kata Teguh.

Teguh menambahkan, setelah KUHP baru nanti berlaku pada 2 Januari 2026, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE baru yakni UU Nomor 1 Tahun 2024 akan dicabut. "Dan dikembalikan ke delik pencemaran nama baik yang ada dalam KUHP baru,” ucapnya.

Ihwal keinginan sejumlah pihak untuk merevisi total Undang-undang ITE Nomor 1 Tahun 2024, menurut dia, masih sangat memungkinkan terjadi. Asalkan disepakati oleh DPR dan Pemerintah melalui kajian yang komprehensif dari berbagai sisi, baik dari sisi norma, implementasi, dan asas keseimbangan antara korban dan pelaku.

Konten dan Konteks Pencemaran Nama Baik

Dalam menentukan pasal pencemaran nama baik, konten dan konteks merupakan bagian yang penting untuk dipahami. Tercemarnya nama baik seseorang pada dasarnya hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan.

Maka dari itu, korbanlah yang bisa menilai secara subjektif mengenai konten dari satu perubahan yang telah menyerang kehormatan dan nama baiknya. Dalam hal ini, perlindungan hukum diberikan kepada korban.

Konteks juga berperan untuk memberikan penilaian yang objektif terhadap suatu konten yang dianggap mencemarkan nama baik korban. Pemahaman konteks mencakup gambaran mengenai suasana hari korban dan pelaku sehingga dibutuhkan beberapa ahli untuk menilainya seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.

Nah, itulah dia pembahasan lengkap mengenai berbagai pasal pencemaran nama baik yang ada di dalam KUHP dan UU ITE. Berbagai pasal yang telah dibahas bisa digunakan untuk menjerat seseorang yang melakukan pencemaran nama baik.

Kasus mengenai pencemaran nama baik merupakan salah satu kasus yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Pasal pencemaran nama baik digunakan untuk menjerat berbagai perbuatan yang mencemarkan nama baik seseorang.

Di Indonesia, perbuatan pencemaran nama baik diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dikutip dari jurnal hukum  website berita Detik.com, pasal pencemaran nama baik dalam KUHP mengatur berbagai perbuatan pidana

yang akan mengatur permasalahan mengenai pencemaran nama baik. Dikutip dari jurnal hukum yang diberitakan kembali Detik.com menjelaskan sejumlah pasal yang mengatur perbuatan melawan hukum versi KUHP dan UU ITE

Berikut adalah pasal pencemaran nama baik dalam KUHP.

Pasal ini mengatur mengenai pencemaran secara lisan. Pasal 310 ayat 1 KUHP berbunyi “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Pasal ini akan mengatur perbuatan pencemaran nama baik yang dilakukan secara tertulis. Pasal 310 ayat 3 berbunyi “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Pasal 311 KUHP mengatur tentang perbuatan fitnah yang dilakukan oleh seseorang. Pasal 311 ayat 1 KUHP berbunyi “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”

Pasal 315 KUHP mengatur mengenai penghinaan ringan yang dilakukan oleh seseorang. Pasal 315 KUHP berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Pasal 317 KUHP mengatur mengenai perbuatan memfitnah dengan pengaduan. Yang dimaksud memfitnah dengan pengaduan dalam pasal 317 KUHP dalam pasal 1 yaitu “Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Pasal ini mengatur mengenai pencemaran nama baik terhadap seseorang yang sudah mati. Perbuatan tersebut dapat diancam oleh pasal 320 ayat 1 KUHP. Pasal 320 ayat 1 berbunyi “Barang siapa terhadap orang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang tersebut masih hidup, akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”

Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

Peraturan yang mengatur mengenai masalah pencemaran nama baik adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal pencemaran nama baik melalui media elektronik menjadi hal yang dilarang sesuai dengan UU ITE pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Hukum Pencemaran Nama Baik di Media Sosial

Pasal pencemaran nama baik di media sosial dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 pasal 45 ayat 3 yang mengatur setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.

Konten dan Konteks Pencemaran Nama Baik

Dalam menentukan pasal pencemaran nama baik, konten dan konteks merupakan bagian yang penting untuk dipahami. Tercemarnya nama baik seseorang pada dasarnya hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan.

Maka dari itu, korbanlah yang bisa menilai secara subjektif mengenai konten dari satu perubahan yang telah menyerang kehormatan dan nama baiknya. Dalam hal ini, perlindungan hukum diberikan kepada korban.

Konteks juga berperan untuk memberikan penilaian yang objektif terhadap suatu konten yang dianggap mencemarkan nama baik korban. Pemahaman konteks mencakup gambaran mengenai suasana hari korban dan pelaku sehingga dibutuhkan beberapa ahli untuk menilainya seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Unsur-unsur Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024

Dari bunyi Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024, penjelasan unsur-unsur pasal tersebut adalah:[1]

Selanjutnya, seseorang yang melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 1/2024.

Kemudian sebagai informasi, pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.[2] Dalam melakukan pencegahan tersebut, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.[3] Lalu, perintah kepada penyelenggara sistem elektronik berupa pemutusan akses dan/atau moderasi konten secara mandiri terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pornografi, perjudian, atau muatan lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sepanjang dimungkinkan secara teknologi.[4]

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

[2] Pasal 40 ayat (2a) UU 1/2024

[3] Pasal 40 ayat (2b) UU 1/2024

[4] Pasal 40 ayat (2c) UU 1/2024

Citations are generated automatically from bibliographic data as a convenience, and may not be complete or accurate.

Isi Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024

Pada dasarnya, seseorang yang menyebarkan informasi/dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dapat dikenakan pidana berdasarkan UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 yang berbunyi:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.